
FIB Unhas — Rangkaian kegiatan Gau Maraja Leang-Leang di Maros mencapai salah satu puncaknya pada Kamis (4/7/2025) dengan digelarnya Konferensi Internasional Kebudayaan di Ruang Serba Guna Kabupaten Maros. Acara ini mempertemukan akademisi, peneliti, birokrat, dan pegiat kebudayaan dari dalam dan luar negeri untuk membicarakan satu hal: warisan budaya dan lingkungan sebagai pusat refleksi kemanusiaan.
Dimulai sejak pukul 08.00 Wita, acara dibuka secara formal oleh dua pembawa acara: Rezky Ramadhani dan Andi Inayah Soraya—keduanya akademisi muda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (FIB Unhas). Doa pembuka dibawakan oleh Alimuddin, S.Pd., disusul pengumandangan lagu “Indonesia Raya” oleh Sitti Sahraeny, S.S., M.AppLing., Sekretaris Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, yang turut menyulut atmosfer khidmat di tengah hangatnya suhu pagi Maros.
Konferensi ini menjadi perpanjangan dari semangat tahun-tahun sebelumnya, di mana FIB Unhas dan Pemerintah Kabupaten Maros konsisten menjadikan kebudayaan sebagai infrastruktur berpikir. Dalam sambutannya, Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar,S.S., M.Hum., Dekan FIB Unhas, menekankan bahwa kegiatan ini “bukan sekadar kegiatan ilmiah, melainkan juga sebuah tanggung jawab akademik dan kultural yang penting.”

“Konferensi ini adalah bentuk nyata komitmen kami untuk merawat dan memperluas pemahaman atas warisan budaya dan alam kita,” ujarnya, seraya menyinggung kerja sama erat antara Unhas dan Pemkab Maros dalam penyelenggaraan acara ini.
Tahun ini, Leang-Leang dan kawasan karst Maros ditempatkan sebagai pusat perhatian: sebagai situs arkeologis sekaligus gerbang peradaban manusia purba dunia. Narasi ini diperkuat oleh keberadaan para pakar arkeologi, antropologi, sejarah, dan linguistik yang hadir dalam forum.
Dalam sesi sambutannya, Ketua Perwira LPMT, Sapri Pamulu, Ph.D., mengaitkan momentum konferensi ini dengan semangat lokal “Gau Maraja”, sebuah inisiatif kultural yang menurutnya “menghidupkan kembali ingatan kolektif masyarakat Maros atas jati diri dan sejarahnya sendiri.”
Sapri juga menekankan pentingnya menghindari pendekatan elitis terhadap pelestarian budaya. “Kebudayaan tidak hanya milik akademisi atau institusi, tapi juga milik masyarakat. Gau Maraja adalah jembatan antara ilmu dan rakyat,” tegasnya.
Sambutan paling ditunggu datang dari Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc., Menteri Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya yang bernada historis sekaligus politis, ia menyebut Leang-Leang sebagai “prasasti hidup yang menandai kebesaran peradaban Nusantara sebelum negara bangsa terbentuk.”

“Ketika dunia bicara tentang situs manusia purba, kita tak boleh hanya menyodorkan Borobudur atau Sangiran. Maros punya Leang-Leang, dan Leang-Leang adalah argumen kuat bahwa sejarah manusia tidak hanya ditulis dari pusat,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pelestarian situs budaya mesti melampaui seremoni atau kegiatan sesaat, pelestarian memerlukan integrasi ke dalam kurikulum, kebijakan pembangunan, serta partisipasi aktif generasi muda.
Selepas sesi pembukaan, konferensi berlanjut hingga sore hari. Berbagai makalah dipresentasikan dalam panel-panel yang berlangsung paralel, membahas tema seputar warisan arkeologi, dinamika budaya lokal, konservasi lingkungan karst, hingga potensi kawasan Leang-Leang sebagai living museum.
Konferensi ini juga menjadi medium afirmasi terhadap peran lokalitas dalam wacana global. Beberapa pembicara dari komunitas adat dan pegiat budaya Maros turut memberikan paparan, menegaskan bahwa pengetahuan tentang situs seperti Leang-Leang tak bisa dilepaskan dari narasi masyarakat sekitar.
Beberapa sesi dalam konferensi juga memberi ruang bagi pegiat budaya dan masyarakat lokal yang selama ini berjuang menjaga situs Leang-Leang dari ancaman kerusakan ekologis. Diskusi-diskusi ini memperlihatkan bahwa pelestarian warisan budaya tak bisa dilepaskan dari partisipasi komunitas yang hidup berdampingan dengan situs tersebut—mereka yang mewarisi cerita, memori, dan ikatan historis yang tak tercatat dalam buku teks.
Menjelang pukul 17.00, konferensi ditutup dengan refleksi kolektif atas urgensi menjaga warisan budaya di tengah ekspansi pembangunan. Tidak sedikit peserta yang menyuarakan keprihatinan atas rencana tambang batu gamping di kawasan karst Maros-Pangkep yang dikhawatirkan akan mengancam ekosistem dan situs prasejarah yang telah diakui UNESCO.
Namun bagi panitia, kehadiran lintas elemen dalam konferensi ini menjadi penanda bahwa arus balik sedang menguat. Wacana pelestarian tak lagi eksklusif. Ia menjadi medan pertemuan antara akademisi, seniman, birokrat, dan rakyat. Dan Maros, dengan Leang-Leang-nya, sekali lagi telah terbukti melampaui sekadar lanskap bebatuan, ia juga merupakan lanskap peradaban.(*)
 
								 
															
