FIB Unhas — Istilah “bussin’”, “red flag”, “mager”, hingga campur kode seperti “first acound mo” kini menjadi pemandangan linguistik yang lumrah di ruang digital. Dinamika bahasa remaja atau Generasi Z yang terus berevolusi ini menjadi sorotan utama dalam dialog kebahasaan dan kesastraan yang dihelat Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (FIB Unhas).
Kegiatan bertajuk “Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Perspektif Humaniora Digital” ini berlangsung di Aula Mattulada, FIB Unhas, Senin (3/11), sebagai bagian dari rangkaian peringatan Bulan Bahasa.
Dialog ini menghadirkan tiga narasumber kunci: Guru Besar Sastra Indonesia FIB Unhas, Prof Munira Hasjim; Martin Suryajaya dari Institut Kesenian Jakarta; dan Toha Machsum, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan.
Prof Munira Hasjim menyoroti bagaimana Humaniora Digital—sebuah bidang interdisipliner yang menggabungkan teknologi komputasi dengan studi humaniora—membuka jalan baru untuk menganalisis fenomena ini dalam skala besar. Menurutnya, platform digital telah menjadi ruang utama ekspresi Gen Z yang melahirkan bentuk komunikasi inovatif, termasuk neologisme dan komunikasi multimodal (teks, emoji, dan gambar).
“Bahasa yang digunakan remaja di media sosial menjadi objek kajian yang kaya,” ujar Prof Munira.
Ia menjelaskan, Humaniora Digital memungkinkan peneliti menganalisis big data kebahasaan untuk mengidentifikasi pola kata, frekuensi slang, hingga melacak penyebaran istilah baru.
Meski menjadi penanda identitas kelompok dan strategi efisiensi komunikasi, Prof Munira juga menyoroti tantangannya terhadap struktur bahasa baku. Oleh karena itu, dialog ini turut menekankan pentingnya strategi pemertahanan bahasa Indonesia di era digital.
“Diperlukan langkah-langkah seperti pembelajaran bahasa berbasis literasi digital yang kontekstual, serta pendampingan agar remaja tetap bertanggung jawab dalam berbahasa sesuai etika dan konteks,” tutupnya.
